Satria Pos, Purwokerto - Jajakan Gorengan Ibu, Bawa Alat Ukur Kemanapun Pergi Swalayan
Boersa Kampus (BK) begitu tenar di kompleks kampus Universitas Jenderal
Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Salah satu pendirinya ialah Tedy
Dirhamsyah. Tapi siapa sangka, lelaki yang kini juga menjadi pejabat
Kementrian Pertanian itu, dulunya menjajakan pisang goreng buatan
ibunya. TANGKAS PAMUJI, Purwokerto.
Jabatan
Teddy di Kementerian Pertanian cukup lumayan. Dia dipercaya menjadi
Kepala Sub Bidang Promosi Badan Ketahanan Pangan. Penghasilannya tentu
lumayan. Namun, diluar kesibukannya sebagai PNS, ternyata dia juga
mendapat pemasukan dari berbagai usaha yang dikelolanya sekarang ini.
Yaitu mengelola usaha jaket kulit T-DY Leather, dan supermarket Bursa
Kampus di Purwokerto. "Dua usaha ini yang menjadi sumber untuk
menguliahkan adik-adik saya," kata Teddy kepada Radarmas.
Tedy
Dirhamsyah lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 16 November 1972. Dia
tidak pernah bermimpi bisa bersekolah sampai ke jenjang perguruan
tinggi. Namun demikian, Teddy berhasil lulus dari Unsoed pada tahun 1999
silam. Sekarang, dia juga sedang menempuh jenjang pendidikan program S3
di Jogjakarta.
Tedy mengisahkan, sehari sebelum wisuda pada September 1999, dia
bersama beberapa koleganya membuka Boersa Kampus. Ide awalnya
mengadaptasi situasi dan kondisi Jogjakarta. Di depan UGM ada sebuah
toko besar. "Idenya itu mengkopi-paste keadaan di Jogja. Tapi kami
tidak punya modal," kenangnya. Karena
tidak memiliki modal uang untuk mendirikan, dia dan teman-temannya
kemudian membuat proposal bisnis. Jaminannya hanya soal kepercayaan.
Selanjutnya, mereka mengumbar bagaimana konsep mereka berdagang untuk
membuka swalayan di depan Kampus Pusat Unsoed itu.
"Alhamdulillah,
sehari sebelum saya wisuda, Boersa Kampus bisa dibuka dengan modal dari
para investor senilai Rp 155 juta. Modal saya nol rupiah. Saya hanya
memiliki ide manajemen bersama teman-teman," katanya. Tapi, setelah
sepuluh tahun berjalan, omzet Boersa Kampus sudah mencapai Rp 2 miliar
per tahun.
"Sekarang,
Boersa Kampus itu milik beberapa orang. Mulai dari investor, Koperasi
Alumni Unsoed, dan saya pribadi juga memiliki modal disana, dan masih
ada lainnya" tandas dia.
Tak
cuma Boersa Kampus. Ketika ada acara World Bank tahun 2001, Tedy
bertemu orang yang sedang mencari jaket kulit. Keduanya pun tawar
menawar. "Saya gambling saja. Waktu itu modalnya hanya Rp 575 ribu
untuk pemesanan satu jaket. Saya carikan sesuai permintaan. Setelah itu
permintaan semakin banyak. Tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi
juga dari luar negeri. Sampai-sampai dicari orang dari Italia dan
Belanda," kata lulusan SDN Condong tahun 1978-1985.
Sejak
tahun 2001-2002 itulah, Tedy terus mempromosikan jaketnya dari mulut ke
mulut. Tidak hanya itu, jika ia pergi kemanapun selalu membawa jaket
kulit di tasnya serta alat ukur. Bahkan sekarang pun ia masih
melakukannya.
Tedy
menambahkan, permintaan jaket dengan merk yang dibuatnya itu rupanya
terus berkembang. Dia lalu memantapkan hati untuk membuka toko jaket
kulit di Mangga Besar tahun 2003. Tahun 2005, setelah menjadi PNS, Tedy
juga membuka toko serupa di Pasar Minggu.
Dia
mengungkapkan, usaha di Mangga Besar, semula hanya dengan menyewa kios
ukuran 2 m x 2 m. Modalnya pun dengan modal sendiri. Tak disangka,
dalam kurun waktu empat bulan, modal sudah balik. Awalnya, semua barang
bukan miliknya. Tapi, milik perajin di Garut dan Tasikmalaya.
Dia
hanya modal kios, etalase, meja, dan seorang pegawai. Barang-barang
dari kulit mulai dari jaket, ikat pinggang dan dompet semua barang
pinjaman. Tapi sekarang, semua barang-barang, mulai dari mesin jahit,
beberapa display jaket adalah miliknya. Tedy merasa terbantu dengan
jaringan perajin jaket kulit tersebut di awal-awal usahanya. Pria
yang selesai sekolah dari SMPN 1 Tasikmalaya, dan lanjut ke SMAN
Manonjaya-Tasikmalaya (1988-1991) mengatakan, selain memberdayakan
perajin di Garut dan Tasikmalaya, dia juga membuat sendiri jaket
kulitnya. Tapi itu hanya untuk pesanan khusus.
"Misalnya,
pelanggannya butuh waktu cepat. Karena spesial, harganya berbeda. Soal
kualitas produk, jaminan 100 persen asli. Jika kualitas tidak sesuai,
dibalikkan," kata dia. Di
Mangga Besar itu pula, Tedy melayani servis jaket kulit. Mulai dari
perbaikan resleting, tangan, kerah, dan apapun kerusakannya. Dari jasa
servis itu dia bisa menggaji paman yang membantunya dan istrinya. Bahkan
ia mendapat gaji dari usaha jaket kulitnya tersebut.
Tedy
menjelaskan, Jaket kulit T-DY semakin disukai dan tersebar di
Indonesia. Bahkan di beberapa negara di luar negeri. Di dalam negeri,
kata dia, pesanan jaket kulitnya banyak datang dari beberapa instansi
pemerintah dan perusahaan BUMN. Mulai dari Pertamina, Telkom, Adhi
Karya, DPR RI, dan Kepolisian. Saat mulai membuka usaha jaket kulitnya
yang ada dalam pikirannya tidak muluk-muluk, yakni bagaimana caranya
biaya kontrakan rumahnya terbayar.
Dia
menuturkan, saat membuka toko di Mangga Besar tahun 2003, maka tahun
itu pula ia diterima sebagai PNS di Kementerian Pertanian. Saat itu, dia
juga berhenti dari jabatan konsultan di Bank Dunia dan fokus bekerja
sebagai abdi negara. Sementara toko jaketnya dikelola oleh istrinya. Menjadi
PNS di lingkungan Kementerian Pertanian, merupakan pilihan
pengabdiannya kepada masyarakat dan bangsa. Niat awal menjadi PNS,
adalah ingin mencoba menjadi pegawai yang baik dan jujur. Karena itu,
jika tidak didukung sumber ekonomi lain dan mengandalkan gaji PNS,
kecenderungan untuk korupsi, kata dia, selalu ada. "Apalagi tuntutan
hidup di DKI sangat tinggi. Seorang pegawai, kecenderungan mencari kerja
sampingan," kata dia yang mengaku akan tetap idealis untuk menjadi
orang jujur.
Naluri
bisnis Tedy sudah melekat sejak dia masih kecil. Masa kanak-kanaknya,
Tedy terbiasa membantu sang ibu berjualan pisang goreng atau buah nangka
hasil pekarangan rumah. Dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya.
"Dari kecil, saya terbiasa untuk bekerja keras," tambah dia. Pengalaman
hidupnya tak selalu mulus. Pernah, kata dia, menggeluti usaha
Agribisnis. Tapi usaha itu mengalami kebangkrutan. Tidak
tanggung-tanggung hampir satu miliar rupiah habis. Tedy pernah membuka
usaha pembenihan kedelai, cabe merah, jagung manis, dan kacang panjang.
Tanaman kedelainya seluas 120 hektar dan cabe 2 hektar lenyap tak
berbekas.
Sekarang
ini, di tengah kesibukannya sebagai PNS, setiap hari Sabtu dan Minggu
Tedy masih menyempatkan diri untuk menjaga tokonya. Saat itulah ia
memberikan pengertian kepada penjaga dan berusaha dekat dengan konsumen.
Termasuk juga ke Purwokerto.
Tedy
banyak mengisahkan didikan saat kecil. Dia sekolah di Unsoed karena ada
tawaran melalui Program Penjaringan Siswa Berpotensi (PPSB) untuk
siswa-siswa SMAN Manonjaya yang memiliki rangking 1-5 di kelas
masing-masing. Tawaran masuk Unsoed tidak serta merta diterimanya. Hal
ini, atas pertimbangan dari segi biaya dan kemampuan orang tua untuk
menyekolahkan anaknya. "Awal-awal program ini, hampir saya mengundurkan
diri," kata dia.
Beruntung, penjelasan Guru Bimbingan Karir (BK) sekolahnya, menjelaskan
Unsoed merupakan perguruan tinggi dengan SPP paling murah dibanding PTN
lain di Indonesia. Selain itu, Kota Purwokerto juga dikenal dengan
biaya hidup paling rendah dibanding daerah lain. "Saya lalu
berkonsultasi dengan kedua orangtua untuk mengikuti PPSB," kisahnya.
Saat
itulah terjadi perdebatan panjang antara bapak dan ibu Tedy. Sang bapak
meminta dia bekerja, sementara, ibunya berharap Tedy melanjutkan studi
sampai Perguruan Tinggi. Setelah
kejadian tersebut, Tedy pernah mencoba daftar masuk menjadi Tentara
agar tidak membebani orang tua membiaya kuliah. Tentu dengan melalui
jalur penerimaan Taruna AKABRI di Bandung, akan tetapi gagal. "Mungkin
jalan hidup memang sudah digariskan seperti ini," kata dia.
Selepas
SMA, atau di Tahun 1991, Tedy akhirnya memutuskan melanjutkan studi ke
Fakultas Pertanian Unsoed melalui jalur PPSB. Pada awal perkuliahan,
masa-masa sulit baginya. Berbekal seadanya, juga pakaian seadanya sudah
menjadi kebiasaan sehari-hari bila kuliah. "Bahkan, pakaian yang dipakai
bila bawahan celana panjang abu-abu SMA, maka atasan baju Pramuka, atau
sebaliknya. Bila bawahan celana panjang pramuka, maka bajunya adalah
warna putih SMA yang lambang OSIS-nya sudah dicopot," katanya. Tak
cuma dalam pakaian, Tedy juga mencari kos-kosan termurah di sekitar
kampus hingga akhirnya mendapati di daerah Karangwangkal, Purwokerto,
dengan biaya kos-kosan perbulan sebesar Rp 12 ribu. Saat menjadi anak
kos, Tedy juga rajin berpuasa Senin-Kamis.
"Maksudnya
sekalian mengirit biaya hidup dengan bekal Rp 30 ribu sebulan untuk
semuanya, termasuk biaya kos-kosan. Orang tua saya banting tulang untuk
bisa menyekolahkan saya. Bahkan, diakhir tahun 1991, Ibunda harus
bekerja sebagai TKI/TKW di Malaysia sebagai buruh di rumah makan di
negara bagian Penang-Malaysia," katanya.
Tedy
mengungkapkan, besarnya pengorbanan ibundanya dengan berpeluh keringat,
darah, air mata, dan doa melecut semangat untuk tidak hanya sebagai
mahasiswa biasa yang belajar. Tetapi aktif diberbagai kegiatan
Mahasiswa. Cita-cita dan tekad saat menjadi mahasiswa pun tumbuh.
Membahagiakan kedua orang tuanya. "Saya harus gigih, Tidak boleh suatu
saat nanti, ada anak-anak Bangsa Indonesia yang kesulitan bersekolah
sampai ke Perguruan Tinggi," katanya. Selepas
wisuda, Tedy dipercaya Prof. Drs. Rubijanto Misman (Rektor UNSOED
periode itu) untuk menjadi Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Sumber Daya Lokal (P3SDL UNSOED) sampai tahun 2002.
Selanjutnya,
pada tahun 2003, demi mengembangkan wawasan dan karier, Tedy pamit
kepada Prof Rubijanto untuk bekerja di Jakarta, dan diterima sebagai Tim
Teknis pada Projek Word Bank melalui Program Pengembangan Kecamatan
(cikal bakal PNPM sekarang) di Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat-Depdagri. "Akhir
tahun 2003, Saya mengikuti tes CPNS di Departemen Pertanian, dan
diterima di Badan Ketahanan Pangan (BKP). Awal kerja sebagai PNS
ditempatkan di Bagian Perencanaan BKP (2004-2008), dan saat mengikuti
Diklat Prajabatan tahun 2004 masuk menjadi salah satu lulusan terbaik,"
katanya.
Pada
tahun 2005-2007, Tedy melanjutkan studi S2 di Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi-Lembaga Administrasi Negara RI (LAN RI), dan dinyatakan
sebagai lulusan dan wisudawan terbaik serta dengan predikat cumlaude.
Tahun 2008, berkat kerja keras dan doa istri serta orang tua, dia
dipromosikan menjadi Kasubbid Preferensi Pangan Masyarakat di BKP.
Tahun
2009, dia mengikuti Diklatpim IV, dan menjadi salah satu dari 3 lulusan
terbaik diangkatannya. Selanjutnya, tahun 2010 dipercaya untuk menjadi
Kasubbid Promosi di Badan Ketahanan Pangan (BKP). Kemudian tahun 2011
mendapat tugas belajar/melanjutkan studi S3 di Fakultas Pertanian UGM.
(Data dibantu Ir Alief Eistein. [Radarmas]